Minggu, 29 April 2018

Tugas Softskill 3 Aspek Hukum Dalam Ekonomi


ANTI MONOPOLI
Pengertian
Istilah monopoli di USA sering digunakan kata “Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

Anti Monopoli dibeberapa Negara
Perkembangan peraturan anti-monopoli di beberapa Negara umumnya merupakan pencerminan dari perkembangan bisnis. Semakin dinamis perkembangan bisnisnya semakin cepat munculnya peraturan anti-monopoli.

Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat pada tahun 1890, Kongres menyetujui pemberlakuan Undang-undang yang berjudul “Act to Protect Trade and Commerce Against Unlawful Restraint and Monopolies”. Undang-undang itu lebih dikenal sebagai Sherman Act sesuai dengan nama penggagasnya. Akan tetapi dikemudian hari muncul serangkaian aturan perundangan untuk melengkapinya, sebagai berikut:
1. Sherman Antitrust Act (1890)
2. Clayton Act (1914)
3. Federal Trade Commision Act (1914)
4. Robinson-Patman Act (1934)
5. Celler-Kefauver Anti Merger Act (1950)
6. Hart-Scott-Rodino Antitrust Improvement Act (1976)
7. International Antitrust Enforcement Assistance Act (1994)
Banyaknya aturan hukum anti-monopoli tersebut merupakan refleksi pemerintah Amerika Serikat agar efektif dan sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan ekonomi guna menjaga dan menciptakan persaingan usaha yang sehat. Hal ini sekaligus indikasi bahwa dunia bisnis dan ekonomi telah berkembang dengan pesat dan sangat dinamis.

Jepang
Pada tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang mengesahkan undang-undang yang diberi nama “Act Concerning Prohibition of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade”, atau dikenal dengan Dokusen Kinshi Ho. Dengan berlakunya undang-undang ini beberapa raksasa industry (zaibatsu) Jepang terpaksa direstrukturisasi dengan memecah diri menjadi beberapa perusahaan yang lebih kecil. Mitsubishi Heavy Industry dipecah menjadi 3 perusahaan. The Japan Steel Corp dipecah menjadi 2 perusahaan terpisah.

Korea Selatan
Undang-undang No. 3320 yang diberi nama “The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act” disyahkan pada tanggal 31 Desember 1980. Dengan dekrit Presiden UU tersebut diberlakukan pada April 1981. Mengingat pesatnya perekonomian Negara maka UU tersebut telah mengalami 7 kali amandemen.

Australia
Sebagai Negara anggota Persemakmuran yang anggotanya adalah Negara-negara eks jajahan Inggris, maka Australia telah mendasarkan dirinya kepada ekonomi pasar. Oleh karenanya sejak tahun 1906 Australia telah memiliki “The Australian Industries Preservation Act” yang berisi larangan monopoli dan percobaan monopoli serta praktek-praktek dagang yang bersifat anti-persaingan. Karena pesatnya perekembangan ekonomi maka setidaknya telah terjadi 3 kali amandemen atas UU tersebut.

Jerman
Sejak tahun 1909, Jerman telah memiliki Gesetz gegen Lauteren Wettbewerb UWG (Undang-undang Melawan Persaingan Tidak Sehat). Namun sejak selesainya Perang Dunia II dimana Negara Jerman terbagi menjadi 2 yaitu Jerman Barat dan Timur yang berbeda system ekonominya, maka UU tersebut tidak relevan lagi. Di Jerman Timur yang menganut system ekonomi sosialis dimana perekonomian disusun dan dilaksanakan secara terpusat oleh Pemerintah maka UU anti-monopoli menjadi tidak relevan, sebaliknya di Jerman Barat yang system ekonominya berorientasi pasar meskipun dijalankan dengan system sosialis tetap diperlukan UU anti-monopoli. Dengan alasan itu parlemen (Bundestag) menyetujui diundangkannya Gesetz gegen Wettbewerbsbescrankungen (UU Perlindungan Persaingan) yang lebih dikenal dengan sebutan Kartel Act.

Praktek Anti Monopoli di Indonesia
Di satu sisi UU No 5/1999 mengamanatkan dekonsentrasi (berlaku bagi konglomerat?), tetapi di sisi lain terutama bagi BUMN/BPPN terjadi proses konsentrasi. Kita memang dihadapkankepada kenyataan bahwa perusahaan yang kita miliki baik swasta maupun BUMN dapat dikatakan masih kecil (dalam ukuran dunia). Dengan terjadinya krisis ekonomi yang kita hadapi, keuangan negara menjadi makin kecil atupun tidak ada sama sekali untuk mengembangkan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengelolaan BPPN pada waktu itu, termasuk perbankan, satu per satu "dijual". Khususnya dalam perbankan terjadi gelombang merger. Bank Mandiri merupakan gabungan Bank Exim, Bapindo, Bak Bumi Daya, dan Bank Dagang Negara. Demikian juga dilingkungan BUMN, pabrik Semen Padang dan Tonasa digabung dengan Semen Gresik, kemudian sebagian sahamnya dijual kepada perusahaan asing (Cemex-Mexico).
Dua persero perdagangan (Dharma Niaga dan Panca Niaga) digabung menjadi PT PPI. Di sisi lain juga terjadi pemisahan, seperti PT MNA dikeluarkan kembali dari Garuda. PT Pakarya Industri (dulunya BPIS), yang merupakan holding company BUMNIS, dibubarkan dan perusahaan-perusahaan yang terkait dikembalikan sebagai BUMN yang mandiri (DI, Pindad, PAL, Inka, KS, Inti, LEN, dan Dahana).
Dengan terbatasnya keuangan negara timbul gelombang penyertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur, dinamakan kemitraan (bukan swastanisasi). Berbagai ragam kemitraan telah dikembangkan, seperti BOT, BOO, BTO, BLT, KSO, KSM, dan lainnya. Contoh jalan tol, telekomunikasi, kilang minyak, air minum, dan lain-lain.
Upaya lain juga terjadi dengan cara unbundling. Hanya bagian-bagian pengusahaan tertentu yang akan diswastakan. Misalnya PLN hanya bagian pembangkit tenaga listrik; pelabuhan hanya bagian terminal kontainer.
Isu yang menonjol di dalam negeri adalah sekitar duopoli Indosat dan Telkom dalam telekomunikasi. Puncaknya ialah penjualan saham Indosat kepada STT Singapura, pada tahun 2002. Dengan memiliki saham Indosat, berarti juga menguasai perusahaan IM3 dan Satelindo. Selain itu kelompok STT juga menjadi mitra Telkom di wilayah Indonesia Timur dalam rangka KSO. Banyak pihak telah menyatakan kepeduliannya terhadap penjualan Indosat kepada STT Singapura, termasuk KPPU, tapi penjualan saham Indosat jalan terus. Bagaimana peranan Badan Pertimbangan Telekomunikasi?
Infrastruktur bukan komoditi biasa (private goods), melainkan public goods, jadi penanganannya pun harus lain. Karena di dalamnya selalu melekat natural monopoly dan implikasinya yang cross sectoral. Di sini KPPU harus cermat melakukan "pengawasan".
Meskipun banyak pernak-pernik dalam praktik anti-monopoli di Indonesia, namun langkah masyarakat dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat sudah berada pada jalur yang benar (on the right track). Bila disandingkan dengan UUD ’45 yang diamandemen, maka UU no.5/1999 tentang persaingan usaha yang sehat dan anti-monopoli tersebut telah sejalan. Dalam pasal 33 ayat 4, disebutkan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kata efisiensi dan keadilan adalah ruh dari UU no.5/1999. Karena mustahil suatu produsen dapat bersaing dengan sehat di pasar bebas tanpa mengindahkan kaidah-kaidah efisiensi. Demikian pula keadilan adalah kata kunci dari UU no.5/1999 ini. Adil dalam arti konsumen merasa bahwa barang yang dibeli adalah murah, sementara itu produsen merasa bahwa barang yang dijualnya cukup mahal sehingga mendapat untung. Menarik untuk ditelaah,
mengingat UU anti-monopoli tersebut disyahkan tahun 1999 jauh sebelum UUD ’45 diamandemen (pasal 33 ayat 4 diamandemen tahun 2002). Bisa jadi actor kedua produk hukum tersebut adalah sama atau mempunyai visi ekonomi yang sama.

Sumber:

Sabtu, 07 April 2018

Tugas Softskill 2 Aspek Hukum Dalam Ekonomi


Perlindungan Konsumen di Indonesia
Salah satu prinsip di bidang ekonomi adalah mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan pengorbanan atau pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Beberapa pelaku usaha sangat menjunjung tinggi prinsip ini, sehingga demi memperoleh keuntungan yang besar, mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan konsumen. Menurut Janus Sidabalok, paling tidak ada 4 jenis perbuatan pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen, yaitu:
1.  Menaikkan Harga, hal ini dapat terjadi apabila pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha memonopoli suatu produk sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain selain mengkonsumsi produksi tersebut.
2.     Menurunkan Mutu, hal ini juga dapat terjadi apabila pelaku usaha memonopoli suatu produk.
3.   Dumpling, yaitu menurunkan harga jual produk sampai pada harga di bawah biaya produksi sehingga harga jual di luar negeri lebih rendah dibanding harga jual di dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk menjatuhkan pelaku usaha lain.
4.    Memalsukan Produk, yang dilakukan dengan memproduksi barang dengan merek yang sudah terkenal di masyarakat dan dipasarkan seolah-olah produk tersebut asli. Hal ini selain merugikan pelaku usaha pemilik merek juga merugikan konsumen karena kualitas produk tidak sama dengan produksi asli.
Keinginan pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya dapat mendorong pelaku usaha untuk berbuat curang, baik melalui berbagai kiat promosi yang memikat konsumen, cara penjualan dan penerapan perjanjian standar yang cenderung lebih melindungi pelaku usaha dan dapat merugikan konsumen. Kecenderungan pelaku usaha untuk berbuat curang menjadikan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan lemahnya kedudukan konsumen adalah karena rendahnya tingkat kesadaran konsumen mengenai hak-haknya.
Hukum yang berlaku selain mampu melindungi konsumen dari perbuatan curang pelaku usaha, juga harus mampu memberika pendidikan kepada konsumen mengenai pentingnya keamanan dan keselamatan dalam menggunakan suatu produk.
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999 telah mensahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Meskipun ditujukan untuk melindungi konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diharapkan lebih termotivasi untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hokum untuk member perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen berbiacara mengenai jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen.
Berikut contoh kasus perlindungan konsumen :
Jual Bakso Daging Celeng, Pria Ini Dipidanakan  
Oleh : Tempo.co
Senin, 5 Mei 2014 17:04 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan. 
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng. 
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan.
Solusi :
Dari kasus pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan label kemasannya yang dituliskan daging sapi padahal didalamnya daging celeng. Kita harus ketahui bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging ini memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang dijualnya. Konsumen akan sangat dirugikan sekali bila mereka mengetahui bahwa daging yang dibelinya itu tidak sesuai dengan kemasannya yang tertulis daging sapi.
Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku terjerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen seringkali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Sumber :