ANTI
MONOPOLI
Pengertian
Istilah monopoli di USA sering digunakan kata “Antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah
“dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti
istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah
“monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan
dan penawaran pasar.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti
kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli).
Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan
kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
Anti Monopoli dibeberapa Negara
Perkembangan
peraturan anti-monopoli di beberapa Negara umumnya merupakan pencerminan dari
perkembangan bisnis. Semakin dinamis perkembangan bisnisnya semakin cepat
munculnya peraturan anti-monopoli.
Amerika Serikat.
Di
Amerika Serikat pada tahun 1890, Kongres menyetujui pemberlakuan Undang-undang
yang berjudul “Act to Protect Trade and Commerce Against Unlawful Restraint and
Monopolies”. Undang-undang itu lebih dikenal sebagai Sherman Act sesuai dengan
nama penggagasnya. Akan tetapi dikemudian hari muncul serangkaian aturan
perundangan untuk melengkapinya, sebagai berikut:
1. Sherman Antitrust Act (1890)
2. Clayton Act (1914)
3. Federal Trade Commision Act
(1914)
4. Robinson-Patman Act (1934)
5. Celler-Kefauver Anti Merger Act
(1950)
6. Hart-Scott-Rodino Antitrust
Improvement Act (1976)
7. International Antitrust
Enforcement Assistance Act (1994)
Banyaknya
aturan hukum anti-monopoli tersebut merupakan refleksi pemerintah Amerika
Serikat agar efektif dan sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan ekonomi
guna menjaga dan menciptakan persaingan usaha yang sehat. Hal ini sekaligus indikasi
bahwa dunia bisnis dan ekonomi telah berkembang dengan pesat dan sangat dinamis.
Jepang
Pada
tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang mengesahkan undang-undang
yang diberi nama “Act Concerning Prohibition of Private Monopoly and Maintenance
of Fair Trade”, atau dikenal dengan Dokusen Kinshi Ho. Dengan berlakunya
undang-undang ini beberapa raksasa industry (zaibatsu) Jepang terpaksa direstrukturisasi
dengan memecah diri menjadi beberapa perusahaan yang lebih kecil. Mitsubishi
Heavy Industry dipecah menjadi 3 perusahaan. The Japan Steel Corp dipecah menjadi
2 perusahaan terpisah.
Korea Selatan
Undang-undang
No. 3320 yang diberi nama “The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act”
disyahkan pada tanggal 31 Desember 1980. Dengan dekrit Presiden UU tersebut
diberlakukan pada April 1981. Mengingat pesatnya perekonomian Negara maka UU
tersebut telah mengalami 7 kali amandemen.
Australia
Sebagai
Negara anggota Persemakmuran yang anggotanya adalah Negara-negara eks jajahan
Inggris, maka Australia telah mendasarkan dirinya kepada ekonomi pasar. Oleh
karenanya sejak tahun 1906 Australia telah memiliki “The Australian Industries Preservation
Act” yang berisi larangan monopoli dan percobaan monopoli serta praktek-praktek
dagang yang bersifat anti-persaingan. Karena pesatnya perekembangan ekonomi maka
setidaknya telah terjadi 3 kali amandemen atas UU tersebut.
Jerman
Sejak
tahun 1909, Jerman telah memiliki Gesetz gegen Lauteren Wettbewerb UWG
(Undang-undang Melawan Persaingan Tidak Sehat). Namun sejak selesainya Perang
Dunia II dimana Negara Jerman terbagi menjadi 2 yaitu Jerman Barat dan Timur yang
berbeda system ekonominya, maka UU tersebut tidak relevan lagi. Di Jerman Timur
yang menganut system ekonomi sosialis dimana perekonomian disusun dan dilaksanakan
secara terpusat oleh Pemerintah maka UU anti-monopoli menjadi tidak relevan,
sebaliknya di Jerman Barat yang system ekonominya berorientasi pasar meskipun
dijalankan dengan system sosialis tetap diperlukan UU anti-monopoli. Dengan alasan
itu parlemen (Bundestag) menyetujui diundangkannya Gesetz gegen Wettbewerbsbescrankungen
(UU Perlindungan Persaingan) yang lebih dikenal dengan sebutan Kartel Act.
Praktek Anti Monopoli di Indonesia
Di
satu sisi UU No 5/1999 mengamanatkan dekonsentrasi (berlaku bagi konglomerat?),
tetapi di sisi lain terutama bagi BUMN/BPPN terjadi proses konsentrasi. Kita
memang dihadapkankepada kenyataan bahwa perusahaan yang kita miliki baik swasta
maupun BUMN dapat dikatakan masih kecil (dalam ukuran dunia). Dengan terjadinya
krisis ekonomi yang kita hadapi, keuangan negara menjadi makin kecil atupun
tidak ada sama sekali untuk mengembangkan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan
yang berada di bawah pengelolaan BPPN pada waktu itu, termasuk perbankan, satu
per satu "dijual". Khususnya dalam perbankan terjadi gelombang
merger. Bank Mandiri merupakan gabungan Bank Exim, Bapindo, Bak Bumi Daya, dan
Bank Dagang Negara. Demikian juga dilingkungan BUMN, pabrik Semen Padang dan
Tonasa digabung dengan Semen Gresik, kemudian sebagian sahamnya dijual kepada
perusahaan asing (Cemex-Mexico).
Dua
persero perdagangan (Dharma Niaga dan Panca Niaga) digabung menjadi PT PPI. Di
sisi lain juga terjadi pemisahan, seperti PT MNA dikeluarkan kembali dari Garuda.
PT Pakarya Industri (dulunya BPIS), yang merupakan holding company BUMNIS,
dibubarkan dan perusahaan-perusahaan yang terkait dikembalikan sebagai BUMN
yang mandiri (DI, Pindad, PAL, Inka, KS, Inti, LEN, dan Dahana).
Dengan
terbatasnya keuangan negara timbul gelombang penyertaan swasta dalam pembangunan
infrastruktur, dinamakan kemitraan (bukan swastanisasi). Berbagai ragam kemitraan
telah dikembangkan, seperti BOT, BOO, BTO, BLT, KSO, KSM, dan lainnya. Contoh
jalan tol, telekomunikasi, kilang minyak, air minum, dan lain-lain.
Upaya
lain juga terjadi dengan cara unbundling. Hanya bagian-bagian pengusahaan
tertentu yang akan diswastakan. Misalnya PLN hanya bagian pembangkit tenaga
listrik; pelabuhan hanya bagian terminal kontainer.
Isu
yang menonjol di dalam negeri adalah sekitar duopoli Indosat dan Telkom dalam
telekomunikasi. Puncaknya ialah penjualan saham Indosat kepada STT Singapura, pada
tahun 2002. Dengan memiliki saham Indosat, berarti juga menguasai perusahaan IM3
dan Satelindo. Selain itu kelompok STT juga menjadi mitra Telkom di wilayah Indonesia
Timur dalam rangka KSO. Banyak pihak telah menyatakan kepeduliannya terhadap
penjualan Indosat kepada STT Singapura, termasuk KPPU, tapi penjualan saham
Indosat jalan terus. Bagaimana peranan Badan Pertimbangan Telekomunikasi?
Infrastruktur
bukan komoditi biasa (private goods), melainkan public goods, jadi penanganannya
pun harus lain. Karena di dalamnya selalu melekat natural monopoly dan implikasinya
yang cross sectoral. Di sini KPPU harus cermat melakukan
"pengawasan".
Meskipun
banyak pernak-pernik dalam praktik anti-monopoli di Indonesia, namun langkah masyarakat
dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat sudah berada pada jalur yang benar
(on the right track). Bila disandingkan dengan UUD ’45 yang diamandemen, maka
UU no.5/1999 tentang persaingan usaha yang sehat dan anti-monopoli tersebut
telah sejalan. Dalam pasal 33 ayat 4, disebutkan bahwa Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kata efisiensi dan keadilan
adalah ruh dari UU no.5/1999. Karena mustahil suatu produsen dapat bersaing dengan
sehat di pasar bebas tanpa mengindahkan kaidah-kaidah efisiensi. Demikian pula keadilan
adalah kata kunci dari UU no.5/1999 ini. Adil dalam arti konsumen merasa bahwa
barang yang dibeli adalah murah, sementara itu produsen merasa bahwa barang yang
dijualnya cukup mahal sehingga mendapat untung. Menarik untuk ditelaah,
mengingat UU anti-monopoli tersebut
disyahkan tahun 1999 jauh sebelum UUD ’45 diamandemen (pasal 33 ayat 4
diamandemen tahun 2002). Bisa jadi actor kedua produk hukum tersebut adalah
sama atau mempunyai visi ekonomi yang sama.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar